Bookers

 

Penulis : Endang Sri Purwanti

Bulir-bulir bening perlahan namun pasti mulai berjatuhan dari langit. Sesekali kilat kamera ciptaan Sang Penguasa Alam berkelebat menyeringai ditemani sahabat karibnya gemuruh guntur. Kupercepat langkahku menapaki tangga jembatan penyeberangan orang yang melintang dari Hotel Bahana Surya langsung terhubung ke Plaza Balikpapan. Napasku yang memburu terhenti sebentar mengehela udara meredakan kelelahan sembari menikmati hembusan angin penyerta hujan dan  lengangnya Kota Balikpapan  yang damai sesuai dengan motonya “Beriman “Bersih indah aman dan nyaman. Usai terpana dengan syahdunya derai hujan, langkahku kembali menyusuri koridor jembatan dan mendarat dengan sukses di toko buku Gramedia.

Tahukah kau kawan Toko Buku Gramedia ini telah mengalami tiga kali renovasi yang semula gerainya lebih kecil dari gerai roti donat asal negeri Paman Sam. Dengan ukuran yang minimalis, gerai Gramedia masih harus berbagi dengan menjual berbagai asesoris seperti dompet, ikat rambut, dan peralatan tulis.  Kala itu, di era 1995-an, buku fiksi yang dipajang didominasi penulis dari luar seperti Shidney Sheldon, Arthur Conan Doyle dengan Sherlock Holmes, dan Agatha Christie. Bukannya tidak senang dengan keberadaan buku-buku mereka, yang menjadi masalah kantongku menjerit melihat harga yang tertera kisaran Rp50.000,00 – Rp100.000,00. Belum lagi bila novel itu berada di deretan best seller harganya bisa mencapai tiga kali lipat, dompetku bukan hanya berteriak namun akan terjadi goncangan dahsyat karena harga itu setara dengan biaya sekolahku selama satu tahun.

Buku fiksi pertama terbitan Gramedia  yang mampu kubeli hasil uang ampao lebaran, fiksi misteri karya S. Mara GD  berjudul “Misteri Melody yang Terinterupsi”. Mengapa S. Mara GD yang menjadi pilihanku di antara sederetan penulis Indonesia seperti Mira W, Gola Gong, Hilman Hariwijaya, dan penulis senior Pramoediya Ananta Toer. Sungguh miris kawan awal pertemuanku dengan novel ini, mereka berserakan teronggok di lantai kamar tak bertuan pada sebuah rumah mungil milik seorang jaksa tersohor di Kota Balikpapan dengan kekayaan berlimpah.

Bersyukur itu kata yang tepat diungkapkan. Bagai menemukan sebongkah berlian, seperti gunungan emas di Papua, keempat novel aku dekap erat, kusapu debu yang menempel, hatiku berbunga-bunga tak terkira bahagianya saat diizinkan oleh penunggu rumah untuk membawa semua buku. Aku seperti menang togel tembus empat angka.  Awalnya perlu waktu dua minggu untuk menyelesaikan sebuah novel setelah itu rasa penasaran dengan isi cerita menggigit naluriku, dalam beberapa jam saja aku mampu melahap sebuah novel. Terkadang untuk menguji nalarku sengaja aku tidak menyelesaikan menerka-nerka mengungkap misteri siapa dalang utama pelaku pembunuhan. Otakku mulai terasah dengan  membaca novel, cerpen, dan cerbung yang terbit di beberapa majalah remaja seperti Anita Cemerlang, HAi, Aneka, hingga akhirnya mencoba membuat cerita sendiri lalu dipublikasikan di mading sekolah.

“Cerpenmu bagus, buat sendiri?” teman sekelasku bertanya dengan tatapan tak percaya.

“Iya lah,” jawabku sombong sembari mengulum senyum.

                                                                   ***

Toko Buku Gramedia menunjukkan kiprahnya membantu anak Indonesia yang haus membaca dengan memperluas gerai, menambah koleksi buku, dan memberikan fasilitas ruang baca dengan menyediakan karpet ambal abu-abu di sudut ruang. Sayang, aku malu untuk menimbrung, beberapa anak laki-laki dengan seragam sekolah yang berbeda sudah memenuhi sudut dengan ukuran sekira  2 x 2 meter itu. Aku terdiam kagum mengamati deretan buku fiksi di rak lain, “Suatu saat karyaku pasti akan dipajang di rak ini berdampingan dengan orang-orang hebat,” pekikku dalam hati. “Man Jada Wa Jadda” ungkapan fenomenal dari novel Negeri 5 Menara karya A. Fuadi, turut menginspirasi mewarnai perjalanan hidupku.

Universitas Mulawarman, program studi Bahasa dan Sastra Indonesia, kurasa pilihan tepat untuk mewujudkan mimpi yang lama terkubur dan aku bertekad akan membangkitkannya ke alam nyata. Toko Buku Gramedia di Samarinda cukup besar, berdiri sendiri tanpa berbagi dengan gerai lain. Menempati  dua lantai, lantai pertama diisi koleksi buku bacaan anak, buku pelajaran siswa mulai Paud hingga tingkat SMA,  perlengkapan alat tulis, dan asesoris anak. Lantai dua menjadi ladang pavorit anak remaja dan emak-emak modern yang gemar membaca. Sayang seribu sayang kawan harga jual sama mahalnya dengan di Balikpapan maka sebagai anak kuliahan aku hanya mampu membeli yang second namun keaslian  dan kualitas terbitan Gramedia ini masih terjamin bagus. Di Ibukota Kalimantan Timur ini, perlahan mimpiku sebagai penulis mulai kurintis dengan berbekal mesin tik warisan dari kakak tertua. Tuts-tutsnya yang kesat, ditekan satu huruf yang maju tiga huruf, ah kebayangkan kawan betapa repotnya tetapi demi sebuah mimpi “Begawi tuntung sampai ka puting” ungkapan berbahasa Banjar yang berarti “ bekerja sampai selesai” menjadi penyemangat  untuk menyelesaikan sebuah tulisan.

Tahun 1998, krisis moneter melanda seluruh negeri. Mulai harga sembako hingga harga sebutir permen pun turut diperhitungkan yang semula seratus rupiah bisa diperoleh lima buah kini hanya dapat tiga. Tentu saja kondisi ini berimbas pada sendi kehidupanku termasuk terhambatnya jadwal menyelesaikan skripsi.

“En kapan seminar satu?”  pertanyaan sahabatku ini serasa menendang jantungku, sesak rasanya bernapas. Bagaimana tidak kawan untuk menyusun skripsi perlu modal yang tidak sedikit mulai ongkos penelitian, membeli kertas HVS, pita printer, disket, biaya sewa komputer yang per jam nya lima ribu rupiah, dan harus menyediakan kudapan untuk para dosen saat maju sidang skripsi.

“Gak tahu nih, belum ada judul,”jawabku sekenanya pada Marni seorang gadis manis asal Bontang yang bernasib sama denganku terpuruk masalah keuangan.

“Misteri Skripsi yang Menggantung.” Sepertinya itu judul yang tepat, hahaha.

Kami melakukan pekerjaan apa saja untuk membiayai hidup. Uang kiriman bulanan manalah cukup di tengah krisis moneter yang menggila ini. Mengajar di salah satu sekolah yang dibayar dengan 5 kg beras per bulan, diberi seratus rupiah per satu kotak jasa melipat kotak nasi dan kotak kue,  hingga dengan keberanian yang dipaksakan kukirimkan  hasil tulisanku ke beberapa majalah namun tidak ada satupun yang merespon, biarlah yang penting sudah terkirim perkara belum dimuat itu hanya masalah waktu.

Sarjana Pendidikan Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia telah kusandang melalui empat tahun kuliah dengan Indeks Prestasi Komulatif 3,15, cukuplah modalku untuk menjadi guru dan terdaftar sebagai pegawai negeri sipil tahun 2005.

Satu persen orang mengatakan hujan itu adalah air dan sembilan puluh sembilan persen mengatakan hujan merupakan kenangan terindah dan termanis yang singgah di setiap insan. Aku menikmati hujan yang tipis sembari menghayal tentang kehidupan anak Dayak bertelanjang dada berkeliaran di dahan pohon, berburu babi hutan, dan berlompatan di derasnya air sungai. Saat menuangkan dalam bentuk tulisan, angkutan kota yang kutumpangi sesekali miring ke kiri dan ke kanan meliuk mengikuti arah tikungan hasilnya tulisanku benjut-benjut tak karuan. Perjalanan dari Desa Teritip ke Muara Rapak tempatku bekerja memakan waktu satu jam, nah karena sedang mood, di tengah hujan penuh inspirasi, cerpen berjudul “Galasara” selesai aku buat. Tidak disangka cerpen bergenre anak ini berhasil  mengalahkan ratusan  cerpen yang mengikuti lomba dan meraih juara tiga tingkat provinsi Kalimantan Timur.

Di tengah gempuran teknologi impormatika yang berkembang pesat, segala keperluan bisa diakses melalui telepon pintar. Pola hidup berubah drastis  kebiasaan membaca, belajar, berbelanja, bekerja dan permainan anak. Internet membuming, semua kegiatan pertemuan dilaksanakan secara virtual namun kondisi ini tidak masalah. Di masa pandemi covid-19, Majalah MadTsaNda akronim dari Madrasah Tsanawiyah Negeri 2 yang terbit setiap tiga bulan tetap eksis dijalankan, semangat memompa siswa untuk terus berkarya menghasilkan tulisan yang dijilid menjadi antologi cerpen selalu aku kobarkan walaupun banyak orang beralih ke bacaan digital.

Suatu saat matahari tersenyum manja mengabarkan berita baik ke penjuru negeri bahwa semua akan kembali seperti sedia kala dimana buku fiksi, non fiksi, majalah, dan, toko buku, diserbu para pecinta “bookers”, istilah yang kusematkan pada orang yang menghargai dan menjunjung tinggi keberadaan buku. Senangnya menjadi bagian dan berkembang maju bersama buku-buku terbitan Gramedia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Serunya Bermain Bersama Alam

menangkap burung dan ikan😭

Menulis & Prestasi