Hanaut
Penulis : Endang Sri Purwanti
Senyum kegetiran
terpancar jelas di wajah manis Euis Suganda yang baru saja lulus seratus persen
sebagai dokter kandungan. Tirai kesedihan di sudut matanya yang sipit turut
mewarnai perjalanannya menuju Sampit Kotawaringin Timur. Ah mengapa harus di
Kalimantan mengapa tidak di tempatkan di desa kelahirannya saja di Wanajaya,
Sukabumi. Toh di desa ini hanya ada satu
puskesmas kecil dan hanya ada satu maling (mantri keliling). Cita-cita
mulia Euis sejak lulus Sekolah Dasar
ingin mengabdikan dirinya di desa yang konon katanya salah satu desa tertinggal
di Kecamatan Cisolok ini.
Berjam-jam menyusuri
sungai Kapuas hingga sungai Khayan dengan perahu motor kecil orang setempat
menyebutnya ketinting. Transportasi paling modern di tahun 2010. Hamparan
bakau, kumpulan tumbuhan daun nipah sebangsa daun kelapa yang biasa
dimanfaatkan untuk membuat atap rumah, menemani perjalanan terpanjang yang
ditempuh Euis selama hidupnya hingga di usia 25 tahun ini.. Silih berganti
penumpang yang diangkut lengkap dengan barang bawaan seperti sekarung besar
sayur mayur, berkeranjang ikan kering, dan sepeda motor pun turut berjejal. “Semoga ketinting ini aman, tidak
bocor, tidak tenggelam, tidak…,” pikiran yang tidak-tidak menyelimuti otaknya
yang kalut. Rasa kantuk, lelah, bosan, menyergapi sanubari Euis. Bergeming saja
saat tamparan angin yang sesekali menyibak hijabnya dan dibiarkan saat cipratan
air sungai berwarna mocca membelai wajah mulusnya. Ketinting berlabuh di Pulau
Hanaut tepat pukul sepuluh malam. Kedatangan Euis disambut tetangga sebelah
puskesmas ditemani lampu teplok.
Semburat kesedihan
belum sirna dari hati Euis. Pulau Hanaut yang hanya dihuni 20 Kepala Keluarga
ini benar-benar mati informasi. Tidak ada menara seluler, tidak tersentuh air
bersih dari pemerintah. Listrik digunakan hanya siang hari setelah itu padam.
Gedung sekolah pun baru terbangun tiga ruangan. Setiap tingkat kelas harus
berbagi dengan kelas selanjutnya.
***
. Hari pertama
bekerja di Pulau Hanaut nan sejuk ini harus dihadapi dengan senyuman jika tidak
mau dihinggapi depresi. Puskesmas Bantu atau Pus Ban yang menyatu dengan ruang
kamar tidurnya ini terbilang mewah dan lumayan lengkap peralatan medisnya. Di
sudut ruang ada kipas angin kecil, di atas meja kayu milik sekolah ada mesin
tik era 90’an, di samping pintu masuk diletakkan timbangan dan pengukur tinggi
badan. Sebuah lemari mungil pun disediakan, bisa digunakan untuk menyimpan
obat, berkas pasien, dan sesuatu yang dianggap penting. Benda paling unik di
rumah panggung bertipe 36, di atas pintu masuk diletakan sebuah botol kaca
kecil seukuran minuman penambah tenaga yang diiklankan oleh almarhum Mbah Marijan, juru kunci Gunung Merapi. Botol ini
berisi minyak yang dipercaya sebagai pengusir sekaligus penangkal hantu, dedemit, dan anggota setan
lainnya. Orang kampung Hanaut menyebutnya minyak “Kuyang”. Merinding juga Euis
saat menatap botol bergambar kepala banteng dari belakang meja kerjanya.
“Assalamualaikum
Bu Dokter !”
“Eh Pak ErTe, Bu
ErTe, mangga, masuk. Mau berobat?”Euis terkesiap mendapat tamu kehormatan
pertama dikala matahari mulai beranjak lengser ke arah barat.
“Ah, tidak Bu Dokter. Ini kami bawakan kripik
kelakai,” stoples bening berukuran sedang penuh dengan kripik panjang berwarna
hijau.
“Kelakai itu apa
Pak?”Euis mencomot satu kripik kemudian mengamati bentuknya yang meliuk-liuk
seperti ulat.
“Kelakai itu tanaman
sayuran yang bisa ditumis, disayur bening, di kuahi santan,” Bu ErTe yang
sedikit modis, dihiasi gelang emas keroncong tiga buah dan satu cincin besar
melingkar di jari tengahnya yang gemuk, mengambil alih pembicaraan suaminya,
H.Sabran sang punggawa ikan.
“Oh sejenis
paku-pakuan ya.”
“Iya mungkin, Bu
Dokter,”jawab H. Sabran kalem.
“Ngomong-ngomong
bagaimana pengalaman pertama tidur di sini Bu Dokter?”
“Ya saya belum bisa
tidur nyenyak, mungkin masa penyesuaian.”
“Ada yang aneh
kah?”selidik Hadijah.
“Oh tidak, tidak ada
yang aneh Bu ErTe, semua aman terkendali. Hanya saja desau angin terlampau
kencang. Saya takut kalau dahan pohon sukun menimpa puskesmas,” Euis menyambar
pertanyaan misterius Hadijah.
“Oh Syukurlah. Baik Bu Dokter, kami pamit
dulu. Semoga betah tinggal di pulau ini.”
:Iya, terimakasih Bu
ErTe, Pak ErTe. Mohon bantuannya untuk mengenal semua warga di sini.”
“Siap Bu Dokter.
Jangan sungkan bila memerlukan bantuan kami,”ucap H.Sabran sembari tersenyum
penuh makna. “Assalamualaikum!”
“Waalaikumsalam.”
Setelah kedatangan
tamu yang paling dihormati di Pulau Hanaut, Pus Ban kembali sepi hingga senja
datang menyapa.
Cukup satu jam
mengadakan “Home Visit” untuk dua puluh rumah. Semua sehat. Termasuk Nenek Erau
yang berumur 103 tahun, orang tertua di pulau ini. Gigi Erau masih kuat
mengunyah kacang, masih mampu menyapu halamannya yang luas, membungkuk saat
memungut daun kering pohon ketapang,
Guratan kecantikannya tersisa di kulit wajahnya yang mulai kendur. Hidungnya
mancung, bola matanya amboi sungguh memesona, coklat bening seperti bola mata
orang Perancis.
“Tensi Nenek bagus,
120/100. Hebat euy Ninik, naon rahasiana?”
Erau terkekeh
memarkan deretan gigi merahnya, bukan habis menyedot darah. Ini dampak
kebiasaan menginang. Getah daun sirih dan buah gambir melekat kuat di giginya
aslinya.
***
“Ya Allah Euis, naon
baru sekarang ngasih kabar. anjeun sehat, anjeun tinggal dimana, rumahna
nyaman. Abi sama Umi khawatir, Nak.”
“Tenang Umi tenang
Euis baik-baik saja. Umi, Abi doakan saja Euis
kuat, sehat, dan….” Euis tak kuasa melanjutkan. Isak tangispun terdengar
di seberang telepon. Dua beranak ini kompak menumpahkan bendungan air mata, melepas
kerinduan genap di hari ke tiga puluh. Bukan perkara gampang menghabiskan waktu
di negeri yang benar-benar terisolir. Banyak perjuangan yang harus dilalui
termasuk menemukan signal telepon seluler untuk sekadar memberi kabar kepada
Abi, Umi, AA Cecep, dan Si bungsu Adip Suganda. Cukup satu bulan sekali
ketinting ke luar pulau, itupun jika alam bersahabat, angin bagus, gelombang
tidak kencang, dan tidak mengalami air surut
Nostalgia “nongkrong”
di kampus semasa kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung
terulang kembali saat di Dermaga Semayang. Walau tak sama dengan di kampus
namun nuansa café terasa. Nikmat kopinya, ditemani roti maryam, roti berbentuk
bantal, empuk dan sangat lembut sungguh di luar ekspektasi Euis selama ini. Dermaga Semayang ikon Kotawaringin selalu
ramai dengan muda-mudi, dan keluarga
akan betah berlama-lama di dermaga ini. Angin semilir khas pinggir sungai dan
hantaman gelombang ke batang-batang ulin
yang dijadikan penyangga tiang kaki dermaga berjoget saat ketinting, speed boat, dan kapal fery melintas. Ceracau bahasa
Banjar dan bahasa Dayak mendominasi antara penjual dengan pembeli turut
meramaikan nuansa sore. Euis menikmati dengan mengedarkan pandangan ke dermaga
yang tidak terlalu luas ini dan..mata itu , tatapan sadis seorang perempuan
muda yang usianya sekira terpaut dua atau tiga tahun di atas Euis. Mata itu tak
berkedip cukup menohok membuat Euis menunduk sembari mencelupkan roti maryamnya
ke kopi capucinonya.
“Pulau…Pulau!”
teriakan asisten ketinting yang cempreng namun menggema syahdu di telinga Euis,
membawa angin segar. Penyelamat dari tatapan tajam perempuan misterius nan
aneh. Satu ketitinting harus berbagi dengan sepuluh penumpang ditambah asisten dan nahkodanya serta
segudang barang belanjaan. Perempuan bergaun putih dengan rambut tergerai
sepundak masih saja menatap nanar saat ketinting perlahan bergerak meninggalkan
sandaran hatinya Dermaga Semayang kebanggaan Kotawaringin.
***
Pasien
kedua telah selesai diperiksa. Anak laki-laki berusia delapan tahun sekujur
tubuhnya dipenuhi koreng. Diagnosa sementara herpes zoster atau sejenis cacing air.
“Andika
saya rujuk ke kota ya, Bu. Tidak ada obat anti virusnya di sini,”Euis
menyerahkan secarik kertas rujukan pada ibu bertubuh kurus yang telah janda
ditinggal mati lima tahun lalu dan harus mengurus lima anak yang susunan
usianya seperti tangga, masih kecil-kecil.
“Nda
usah. Ke dukun haja. Kalo kada ke Nenek Erau, bisa ngobati penyakit macam ni”
ibu Andika bergegas keluar ruang periksa. Kertas rujukan teronggok kasar di
atas meja ditinggal pergi Sang nyonya dengan wajah cemberut. Kekesalannya ia
tumpahkan pada pasien ketiga.
“Ikam
kada usah beobat disini, kedada obatnya. Percuma. Pulanglah!”
Seorang
perempuan remaja yang ditemani ibunya menurut saja tanpa meminta klarifikasi
pada Euis. Pergi tanpa pesan, menuruni anak tangga puskesmas. Euis mengusap
wajahnya, menghela napas panjang,”Ya Allah sampai kapan badai ini berakhir.”
Petir
bersahutan, candaan guntur sangat keras hingga getarannya menggoyang bangunan
kayu rumah panggung ala Kalimantan. Lampu teplok kedap-kedip diterpa angin
beserta sepupunya tempias hujan. Bayangan perempuan berparas cantik namun
dengan raut wajah sendu tiba-tiba berkelebat di pelupuk mata. Ada apa
dengannya, siapa dia, dan mau apa dia. Entahlah yang jelas Euis tidak
mengenalnya. Malam semakin larut rasa lelah melanda di tengah remang cuaca. Di
luar sana Guntur masih saja bersenda gurau tak ada lelahnya.
***
“Perdarahan!”
Aborsi?” Baringkan di sini. Bapak tunggu saja di luar!”
Partus
di usia muda memang beresiko, apa lagi bila kelahiran anak pertama. Hampir satu
jam Euis berjibaku mencoba menghentikan perdarahan hebat.
“Siapa
dia Pak?”
“Eee,
tetangga saya,”jawabnya gemetar. Entah sudah berapa batang rokok yang ia hisap.
“Siapa
dia?” Euis mendekat sembari mencengkram pundak seorang lelaki berumur kisaran
35 atau 45 tahun. Matanya merah menyimpan kemarahan, kegelisahan, dan rasa
ketakutan yang samar.
“Dia…tetangga
saya,”rokok yang masih separuh dihisap kembali dibuang ke tanah. Ia
menginjak-injak dengan penuh kegelisahan
“Aborsi
dimana?” cecar Euis tanpa ampun.
Belum
sempat lelaki separuh baya itu menjawab, suara rintihan terdengar pilu dari
ruang bersalin. Rupanya perempuan itu sudah siuman. Obat bius dua ampul telah
bekerja normal.
“Kau
tunggu di sini!”Euis tidak lagi memanggil dengan sebutan Bapak. Amarah tidak
terkendali telah menggerogoti seluruh raganya.
“Siapa
kamu?!”
“Suryati”jawabnya
tertunduk.
“Mengapa
tega membunuhya. Nyawamu pun hampir tak tertolong. Sudah berapa kali ke
Hanaut?” bagai jurnalis yang haus dengan berita faktual, terikini, Euis
menyerang pertanyaan seolah ingin menyudutkan perempuan yang berparas terlalu
sangat cantik. Benar-benar sempurna tanpa cela, putri tercantik sejagat raya.
“Suamiku
selingkuh. Aku tidak mau menderita sendirian,”Suryati menengadah, tatapannya
penuh dendam. Euis sampai bergidik dibuatnya.
“Aborsi
dimana?”Euis menanti jawaban dengan was-was.
“Nenek
Erau.”
Kecurigaannya
pada Nenek Erau terjawab. Dukun aborsi, sebagai mata pencaharian. Apalagi yang
bisa dilakukan dengan usia yang sangat tua. Praktik aborsi jalan pintas
mengumpulkan pundi-pundi rupiah.
***
Tirai
embun melingkar syahdu di pembaringan daun tram besi. Bau dupa menyeruak tajam
di sekeliling rumah mungil beratap daun nipah. Ritual bakar dupa, sesajen kopi
pahit, air mawar, ketan kuning tanpa santan yang ditengahnya ditancapkan telur
ayam rebus, wajib dipersembahkan setiap malam jumat. Aih ilmu apa pula yang
dianut Erau. Nenek yang terlihat enerjik seperti di film Suzana yang suka makan
kembang kantil. Entahlah berapa janin malang yang sirna dari dunia fana ini
melalui tangan terampil Erau.
Euis
mengamati beberapa foto di dinding papan ulin. Erau muda mengenakan kebaya
putih berdampingan dengan pria asing sepertinya keturunan Belanda. Foto yang lain
tampak Erau bergandengan dengan lelaki bermata sipit keturunan Jepang. Foto
hitam putih itu masih terawat tidak termakan usia.
“Ada
apa, sungsung banar (pagi sekali) ke sini?” Tanya Erau dengan bahasa Banjar
bercampur bahasa Indonesia.
“Anu
Nek, mau memberi vitamin dan ini biskuit,”jawab Euis gelagapan mendapat
pertanyaan dari Erau yang muncul tiba-tiba dari bilik semedinya.
“Oh
biskuit bulan lalu saja masih ada. Itu di atas meja,”tunjuknya pada sebuah meja
sudut kecil tanpa alas taplak meja.
“Iya
Nek ini jatah bulanan, semua warga dapat. Bayi, anak-anak, manula, dan ibu
hamil.”
Erau
menerima paket dengan wajah tidak senang namun Euis tidak peduli. Ia penasaran
dengan Nenek yang hidup sebatangkara. Tinggal diujung pulau, hanya mengandalkan
hasil kebun.
“Maaf
Nek, ini siapa?”
“Suamiku,”jawabnya
datar.
“Yang
ini Nek?”
“Ah
buat apa kau mau tahu. Sudah sana pulang! Aku mau ke kebun.”
Mendapat bentakan yang tidak terduga membuat
getaran hebat di tubuh Euis, “Baik Nek, permisi.”
Sepanjang
jalan Euis memikirkan sebuah foto perempuan berwajah blasteran yang wajahnya
mirip selebriti Paula istri Baim Wong. “Itu bukan Erau muda, aku yakin,”gumam
Euis sambil menapaki tanah berpasir.
***
Malam
ini cuaca sangat gerah, ah mungkin akan turun hujan, begitu mitos yang
dipercayai, namun bintang bertaburan menghias langit sendu ditemani Sang dewi
malam yang berparas terang. Suasana gerah berubah menjadi panas hingga Euis
keluar teras sekadar mencari udara segar. Malam beringsut hampir setengah
perjalanan waktu, keadaan langit semakin terang sehingga Euis tidak salah lihat
apa yang baru saja berkelebat. Tidak salah lagi inilah yang disebut “kuyang”,
kepala terbang lengkap dengan isi perutnya. Sebelum ke Kalimantan Euis banyak
mencari refrensi tentang adat istiadat, makanan khas, hingga fenomena
supranatural hantu khas Kalimantan “kuyang” yang gunanya untuk awet cantik.
Kaki Euis mati rasa tak kuasa bergerak, mulutnya komat-kamit membaca doa yang
bisa terucap dalam keadaan ketakutan. Tatapan Euis menyusuri kemana arah kepala
itu terbang dan tidak disangka Kuyang mendarat pasti di rumah Pak Paimin. Anak
gadisnya yang dua tahun lalu menikah kini tengah hamil tujuh bulan, itulah
incarannya. Euis tak sanggup berpikir. Dengan tenaga tersisa, ia berusaha masuk
ke kamar. Sekujur tubuhnya menggigil ketakutan.
Puskesmas
hari ini sangat ramai. Pasiennya beragam, bayi dua orang, balita tiga orang,
dan dua pasien dewasa. Keluhannya sama yaitu batuk, pilek, demam, dan di
beberapa bagian tubuh tumbuh ruam merah berbiji-biji seperti cacar air, berasa
gatal.
“Tolongi Bu Dokter, anak ulun semalam kada
kawa guring, aur menangis (tolong Bu Dokter, anak saya sepanjang malam tidak
bisa tidur, selalu menangis).”
“Ya
Bu, demamnya tinggi 39 derajat. Ini saya kasih paracetamol penurun panas,
calamine untuk gatal, dan yang ini tablet obat batuk pileknya. Diminum sehari
tiga kali, sesudah makan. Mudahan cepat sembuhlah, Bu.”
Pasien
terakhir seorang ibu yang “doyan” bicara. Seluruh pulau tahu dengan hobinya
ini, malah ada beberapa ibu menghindar bila ada dia saat belanja sayur yang
datang ke pulau seminggu sekali menggunakan sampan kecil seperti yang digunakan
di pasar terapung Banjarmasin Kalimantan Selatan.
“Bu
Ida apa ada alergi pada obat atau makanan?”
“Nda
ada Bu Doktor. Nda pernah alergi. Tahu-tahu malam tadi gatal. Semalaman awak
bekiruh kegatalan. Kadada makan apa-apa, nang biasa haja dimakan ari-ari. Panas
pulang , aih rakai pinanya awak ulun ngini. Tarus tu Bu Doktor … (Semalaman
seluruh badan gatal. Tidak makan apa-apa, badan panas, lemas seluruh badan.
Terus itu Bu Dokter… ”
“Ini
obatnya. Diminum setelah makan. Semoga cepat sembuh lah,”Euis harus mengeremnya
kalau tidak sepanjang hari Bu Ida akan berceloteh tiada henti dengan bahasa
yang tidak dimengerti Euis.
“Eh makasih
lah Bu Doktor. Eh tahu lah Bu Doktor, malam tadi anaknya Paimin yang hamil
tujuh bulan tiba-tiba kandungannya hilang,” Bu Ida memulai lagi bakatnya. Tak
sungkan ia menggaruk anggota tubuhnya di depan Euis hingga ke bagian “miss v” .
“Nah
terus tu, tembuni bayinya Caca, itu nah anaknya Uwak Intai, hilang jua di dalam
ember, maka handak ditanam,” lanjutnya berapi-api.
“Kok
bisa bersamaan, Bu Ida?”
Tahu
jua, Bu Dokter ai, ujarnya dimakan kuyang."
Deg,
jantung Euis serasa berhenti berdetak. Oh Nenek Erau berapa bayi malang yang
telah kau buang, berapa banyak dosa yang kau tumpuk. Kutuk Euis dalam hati.
“Innalilahi
Wainnailaihi rojiun. Telah berpulang ke rahmatullah Nenek Erau di kediamannya.
InsyaAllah akan dimakamkan ba’da ashar. Sekian pemberitahuan dari pengurus
mushola An-Nur.”
“Hah!”
Jerit Euis seraya berlari ke teras untuk memastikan pendengarannya.
“Innalilahi
Wainnailaihirojiun,”Bu Ida berucap takdim sembari menepuk prihatin pundak
Dokter muda yang mulai jatuh cinta pada
Pulau Hanaut. “Saya pulang dulu, Bu dokter.”
Euis
tak mejawab, ia terpana, takjub dengan berita kematian Erau yang dirasanya
mendadak. Ada perasaan bersalah menyusupi relung hatinya. Berburuk sangka,
padahal belum ada bukti yang kuat. “Ah maafkan aku, Nek,” ratap Euis tertunduk.
Bulir bening menetes tak kuasa dibendung.
Tim
pardukifayah yang sejatinya menutupi semua aib yang melekat di mayit terpaksa
mempersilakan Euis sebagai dokter untuk memeriksa kematian yang dirasa mendadak
ini. Benar saja pada bagian leher tampak luka lebam dan di bagian pundak kanan
terlihat jejak cakaran yang cukup dalam, mungkinkah ini penyebab kematiannya.
Tidak ada yang bisa memastikan seratus persen harus melalui uji forensik.
Suasana pemakaman mengharu biru. Lembayung senja mengiringi sepuluh warga ke pemakaman
muslim yang letaknya tidak jauh dari kebun Erau. Wak Haji Nahrowi memimpin doa.
Semua tampak hikmad mengamini. Wajah-wajah datar tanpa ekpresi sedih , tidak
ada yang merasa kehilangan pada nenek sebatangkara ini. Usai tanah ditimbun
rapi, pelayat beringsut pergi, namun Euis
bertahan. Rasa penyesalan kembali bergelayut di hatinya. Batu nisan dari
kayu ulin sederhana, diusap lembut. Ada air mata disana, sangat tulus. Ekor
mata Euis menangkap sosok perempuan berbaju hitam berkerudung hitam berdiri tegak
sekira sepuluh meter dari tempatnya bersimpuh di pusara. Perempuan itu wajahnya
mirip yang ada di foto dinding ruang tamu Nenek Erau namun sepintas mirip juga
dengan Suryati. Kepala Euis sedikit pening memikirkan siapa perempuan yang
tidak pernah dilihat wujudnya di pulau Hanaut ini. Saat mendongak ingin
memastikan penglihatannya, sosok itu hilang.
***
“Ngabuburit”
istilah orang Sunda menunggu waktu berbuka puasa, di Sampit ini cukup eksotik.
Sepanjang bantaran sungai berjajar rumah panggung. Hilir mudik ketinting dan
“speed boad” serasa di kota Venesia. Jajanan pasarnya pun beragam ada wadai
(kue) amparan tatak berlapis santan putih yang di bagian bawahnya tersemat
cincangan pisang mauli, atau lezatnya sarimuka gula merah, atau bingka waluh
(labu) nan lembut, panganan pas saat berbuka dilengkapi es cendol dan es kopyor.
Di tengah hiruk pikuk pasar, perempuan dalam foto itu berdiri santai sembari
memilih jajanan pasar. Euis terhenyak tak percaya. Kesempatan ini tidak ia
sia-siakan. Bergegas ia mencegat langkah perempuan anggun itu.
“Maaf,
bisa kita bicara sebentar?”
Kedai
Acil Alus menjadi pilihan terbaik untuk menguak misteri di Pulau Hanaut.
“Kenal
dengan Nenek Erau?”
Shanum
menggeleng dengan mengerutkan dahinya tanda keheranan.
“Tapi fotomu ada disana,” Euis asal saja
bicara guna melihat reaksi Shanum.
“Ah..gak
mungkin!” Hanya mirip saja.”
“Nenek
Erau sudah meninggal, seminggu yang
lalu.”
“Innalilahi
wainnailaihi rojiun,”Shanum tampak benar-benar sedih.
“Dengan
Suryati kenal?” wajahnya sangat mirip dengan mu.”
Shanum
menggeleng.
“Sebentar
lagi buka puasa, boleh ikut berbuka
di rumahmu.”
Shanum
menggangguk.
Rumah
panggung yang semuanya berbahan kayu ulin, kayu besi istilah Presiden Joko
Widodo, menyambut kedatangan kami. Pekarangan rumah yang luas tanpa pagar,
sangat asri dengan pohon buah khas Kalimantan, seperti rambutan garuda, mangga
ramania, buah kuranji bentuknya bulat dengan kulit hitam yang isinya berwarna
jingga rasanya asam manis, dan di samping rumah tumbuh pohon buah kapul yang
hanya ada di Kalimantan Selatan dan Tengah, bentuknya bulat kulitnya coklat dan
daging dalamnya putih seperti buah langsat atau duku.
Sungguh
nyaman suasana berbuka di ruang tamu, beralaskan tikar rotan, duduk bersila
mengelilingi hidangan takjil
“Iya
bu, saya dokter di Hanaut.”
“Wuih,
kakak nda takut kah tugas di pulau behantu itu,” adik laki-laki Shanum yang kedua berkomentar takjub.
“Ah ,
jar siapa behantu, pernah ke sana kah.
Hantu itu takutan wan ikam (takut denganmu),”celetuk adik perempuan Shanum yang
bungsu.
Sobirin
Sang kepala keluarga seorang pensiunan guru yang menghonor di SD Negeri, tampak
gusar mendengar Pulau Hanaut disebut. Begitupun dengan Irus, ibu rumah tangga
yang terlihat penyanyang dan penyabar ini tampak terganggu, menunjukkan
ketidaksenangannya dengan mengalihkan pembicaraan membahas nama makanan khas
Kotawaringin.
“Allahuakbar..Allahuakbar..,”
Alhamdulilah waktu berbuka telah tiba.” Semua mengucap syukur. Sungguh nikmat
berbuka takjil dengan citarasa berbeda yang belum pernah disantap Euis di Kota
Bandung. Obrolan santai mengalir walau kadang ada istilah bahasa yang tidak
dimengerti.
Kini
ruang tamu beralih fungsi menjadi ruang beribadah menunaikan shalat berjamaah,
Euis mendadak rindu kampung halaman. Rindu pada Abi dan Umi, yang selalu mengajarkan
untuk shalat berjamaah di mushola milik keluarga yang juga diperuntukkan pada
khalayak sekitar.
Kebiasaan
Euis bisa dikategorikan suatu hobi yaitu mengamati pernak-pernik unik di
sekelilingnya termasuk mengamati foto
yang dipajang dan yang berada di dalam album foto. Mata Euis tertuju
pada foto keluarga yang komplit, dua anak perempuan kembar mengenakan warna
baju berbeda namun modelnya sama, dua anak laki-laki usianya kisaran 7 dan 9
tahun. Sang Ibu terlihat hamil muda sekira lima bulanan, duduk di depan bersama
sang suami.
“Ini
keluarga di sini?” album foto Euis sodorkan pada Shanum yang duduk di
sampingnya.
“Iya.”
“
Yang kembar ini siapa?”
“Ini
aku dan yang ini Shauna.”Shanum menjawab kalem tetapi Euis menanggapinya dengan
antusias.
“Shauna,
sekarang kemana dia?”
“Dia…sudah
meninggal tiga tahun lalu.”
“Apa?”pekikkan Euis sungguh dahsyat membuat seisi rumah
berlari ke ruang tamu.
“Kenapa?”
“Nda
kenapa-napa, Bah,” Shanum menenangkan hati Abahnya (Bapak).
“Kenapa
Bu Dokter bekuriak (berteriak)?” Abah sangka diigut (digigit) penyangat.”
“Ini
nah ulun padahi (saya bilangi) Shauna sudah meninggal tiga tahun lalu.”
“Tidak
mungkin, dia datang ke puskesmas. Dia aborsi.”
“Mana
bisa, Shauna itu sudah mati,” Irus ibu Shanum pengendali rumah tangga berusaha meyakinkan.
“Tapi
wajahnya sangat mirip,”Euis tak kuasa berkata-kata jari telunjuknya saja yang
mampu menjelaskan dengan menunjuk Shanum.
Semua
anggota keluarga tertular diam seribu bahasa. Tang Tang dentang jam besar di
sudut ruang akhirnya mampu mencairkan suasana yang membeku. Detak jantung yang
seolah berhenti sesaat kembali ke alam nyata.
“Foto
Shauna ada di rumah Nenek Erau.” Apakah Nenek Erau punya ilmu kuyang?” sangat
hati-hati Euis menanyakan hal yang bisa membuat tuan rumah tersinggung.
Ruang
tamu kembali hening. Irus menatap tajam pada Sobirin yang terduduk kaku di
shofa yang busanya mulai mengempis.
“Ya,”jawaban
singkat Sobirin memberikan titik terang di tengah gelapnya misteri “kuyang”
Tanpa
diminta keluarga ini flash back becerita saat Irus mengandung Shanum dan Suryati yang tidak lain adalah
Shauna, buah cinta yang dinanti selama lima tahun pernikahan.
***
Sampit
1982, desa yang super alami, tak tersentuh listrik, tak terjamah aspal, tak
terlindas jejak roda angkutan umum yang nampak jelas jejak telapak kaki, sandal jepit, sepatu boot, istilah sekarang dookmart seperti sepatu laras tinggi
milik tentara angkatan darat, jejak terompah kayu, ada juga terlihat sesekali
jejak roda truk, sepeda motor yang paling terkenal “ Bebek Yamaha” warna merah.
Rumah berornamen ukiran suku Dayak pada daun pintu masih dipertahankan hingga
sekarang, hanya ukuran rumah yang berbeda. Lebih kecil dan tidak ada jamban
atau WC, jika buang hajat pergi ke
sungai yang letaknya sekira dua puluh lima meteran dari rumah.
Irus
terlahir dengan nama Rusnani, gadis blasteran Belanda yang sangat cantik
menikah dengan Sobirin pribumi asli Kalimantan Tengah yang memiliki darah Dayak
Kenyah. Laki-laki Dayak asli berkulit putih dan bermata sipit, lebih khasnya
lagi pada lengan dihiasi tato dengan gambar sesuai suku dan jumlah usia.
“Irus
ikam handak kah betianan (Irus kamu mau hamil)? “tanya Erau pada anak kedua
dari suami keduanya yang berkebangsaan Belanda.
Irus
menurut saja, tanpa bantahan, tanpa tanggapan.
“
Malam Jumat ini ulah (buat) sesaji, banyu (air) kembang, banam (bakar) dupa
habis Maghrib.”
Irus
tidak berani membantah, ia percaya dengan kekuatan magis yang dimiliki ibunya.
Irus takut kejadian buruk menimpanya seperti yang dialami Sari seorang janda
yang baru satu minggu ditinggal mati suami, ironisnya ia tengah hamil empat
bulan. Dua hari lalu Sari beradu mulut dengan ibunya hanya masalah ayam yang
berkeliaran ke pekarangan Erau dan merusak beberapa pot bunga. Dengan seenaknya
ayam betina dan keempat anaknya dipatahkan sebelah kakinya seraya Erau
mengeluarkan sumpah serapah mengutuk Sari dan calon bayinya yang nanti jika
lahir akan cacat seumur hidup. Kutukan itu berjalan sesuai keinginan Erau, Sari
mengalami stroke, saat melahirkan bayi perempuan yang manis namun kaki kanannya
terlihat lebih kecil.
“Kalo
ulun (saya) betianan, ada syaratnya lah Mak?” tanya Irus dengan hati-hati dan
nyaris suaranya tidak terdengar.
“Ada,”
jawaban singkat dari ibunya cukup menyengat jantung Irus, sejurus kemudian ia
enggan bertanya lagi. Bergegas Irus ke dapur mengurus permintaan ibunya
menyiapkan sesaji.
Malam
Jumat malam keramat bagi Erau. Sesaji yang dipersiapkan Irus diletakan di dalam
ruang khusus yang luasnya sebesar kamar mandi ukuran 2x2 meter persegi. Di
ruang ini lah segalanya bermula. Tengah malam, saat mahluk bumi bernama manusia
beristirahat mahluk alam gaib bertitel Kuyang berkeliaran memenuhi undangan
makan sesaji, berkonsfirasi dengan Erau sang pemuja setan. Perjanjian telah
disepakati. Bulan kedua Irus positif hamil.
Selama
masa kehamilan tidak ada yang ganjil. Ngidamnya pun tidak aneh-aneh biasa saja.
Pertumbuhan janin semakin bagus dan sehat setiap bulannya. Penghasilan Sobirin sebagai guru honor Sekolah Dasar
bertambah, dia dipercaya untuk mengelola koperasi sekolah, inilah yang disebut
rezeki anak.
“Anakmu
kembar, perempuan.” Sutini satu-satunya bidan kampung memprediksi kandungan
Irus. “ Seminggu lagi beranak. Hati-hati sama mamakmu.”
“Kenapa
Mamaku?”
“Ingat
lah, Senayan kena bisukan banar datangi aku. Kada usah bepadah wan siapa haja.
Kalo ada yang betakun padahi handak ke rumah ading ikam (Ingatlah, Senin depan
pagi sekali datangi aku. Jangan ada yang tahu. Jika ada yang bertanya katakan
saja hendak ke rumah adikmu).” walau bingung dengan intruksi Bidan Sutini, irus
mengangguk, tanda setuju.
***
Erau
murka, mengamuk seperti orang gila. Barang pecah belah di dapur berterbangan.
Sobirin yang baru pulang dari mengajar kalang kabut dibuatnya. Nyaris saja
sebuah piring mengenai wajahnya jika Sobirin tidak menunduk.
“Mamak
kenapa?”
“Bini
mu, mana. Irus ke mana?” suara Erau berubah serak menakutkan.
“Kenapa
Irus?”kepanikan melanda Sobirin. “Sudah beranak?” Dimana?”
Erau
yang mendapat pertanyaan yang bertubi-tubi membuat hatinya semakin geram dan
GRRR, cakaran yang sangat tajam mendarat di wajah dan tangan Sobirin. Tak pelak
Sobirin jatuh tersungkur menahan sakit dan perih mendalam. Erau berlari ke
jalan.
***
Keringat
dingin bercucuran menahan sakit tak terkira. Perjuangan melahirkan dua anak
sekaligus tanpa ditemani orang tercinta terasa berat. Shanum lahir lebih dahulu
tanpa kendala, Shauna masih berjuang untuk diselamatkan dari rendaman air
ketuban. Setengah jam yang melelahkan, Shauna lahir tidak ada tangisan
mengiringinya. Ia diletakkan di lantai beralaskan kain sprei bersebelahan
dengan Shanum yang aktif meraung menyebarkan kemerdekaannya. Bidan Sutini juga
berusaha mengeluarkan tembuni yang masih tertinggal. Irus sadar namun belum
mampu berkata-kata. Ia terlihat iba menatap buah hatinya yang belum juga
bersuara. Matikah dia atau hanya pingsan.
“Irus
selama satu minggu ini kau tinggal saja di rumah Kakaku ini. Setiap pagi aku
datang memandii anak-anakmu yang cantik,” mendengar penuturan kata
“anak-anakmu” bagai mendengar pengumuman
kelulusan sekolah, ingin rasanya Irus berjingkrak menyambut euporia kemenangan
ini. Kemerdekaan menentukan arah hidupnya tanpa ada intimidasi dari pihak
manapun.
“Terimakasih
Bu Tini,” bulir bening meneteskan kebahagiaan, tanda ucap syukur tak terhingga
atas pertolongan keluar dari maut yang diciptakan ibunya.
***
Erau
mengendus bagai anjing kelaparan, dimana ada darah segar, darah bayi yang baru
dilahirkan mendeteksi keberadaan anak perempuan satu-satunya yang masih hidup
dengannya. Penciumannya terbatas dan terhalang arus sungai. Radar
antenanya tidak dapat menjangkau bila
mangsanya berada di seberang, tidak satu daratan. Untuk sementara Irus aman di
Pulau Hanaut.
Desember,
1982, Membesarkan anak kembar tanpa didampingi suami, tanpa petuah dari Ibu,
dan jauh dari lingkungan keluarga. Hiburan terindahnya ketika melihat Shanum
dan Shauna memberikan senyum keceriaan, tumbuh normal, urusan lain seperti
keperluan pakaian bayi ia serahkan pada Bidan Sutini. Ia harus pulang. Lima
bulan waktu yang lama bagi Irus berpisah dari Sobirin, orang yang seharusnya
mengadzankan dan mengiqomahkan kedua putrinnya pertama kali, lelaki yang tidak
bisa melihat kelahiran buah hati yang dirindu selama lima tahun. Ah biarlah
Sobirin marah karena ketidaktahuannya dengan perjanjian yang dibuat ibunya.
Antara Erau dan Kuyang sesembahannya.
Menapaki
jalan menuju rumahnya bagai berjalan di jembatan Sidratul Muntaha, penuh
kehatian, was-was, berbagai pikiran berkecamuk di benak Irus.
“Assalamualaikum,”
Irus menyapa dengan rasa khawatir. Ia berharap yang membuakan pintu itu mantan
kekasih hatinya, bukan ibu kandungnya. Doanya terkabul.
“Iruus!”Sobirin
benar-benar lelaki yang lembut, penuh pengertian. Direngkuhnya ibu kedua
putrinya ke dalam, Bidan Sutini terenyuh menyaksikan pemandangan ini.
“Mamak kemana?” kelompak mata yang sembab, hidung
mancung yang memerah, turut menjadi saksi betapa Irus peduli pada ibunya.
“Buat
apa Mamak dicari. Lihat ini ulah Mamakmu,” Sobirin menunjukan bekas luka
cakaran Erau. “Lima belas hari aku di rawat Mama Inah, tetanus katanya.”
“Terimakasih Bu Bidan bantuannya.” Sobirin
menjabat erat tangan bidan berhati emas ini disertai menyelipkan selembar uang
pecahan lima puluh ribu.
Bidan
Sutini menjawab dengan anggukan dan berlalu dengan senyuman.
Kau
jangan kemana-mana. Bila ada Mamakmu datang jangan dibuka pintu. Aku pergi
mengajar dulu,”Wejangan Sobirin membuat hati Irus tenang.
***
Lapalan
.mantera dari bibir tipis Erau terhenti. Asap dupa berhembus ke utara. Ritual
yang dilakukan Erau persis seorang telepati dalam film X-Men yang dilakukan
Xavier dalam mencari golongan mutan. Bergegas Erau menuju titik sumber
targetya. “Awas kau Irus!”
Irus
tengah sibuk memnersihkan seluruh ruang rumah yang berdebu, memasak, dan mengurus kedua bayinya. Shauna terlihat lebih
kecil, kulitnya juga sedikit hitam kebiruan maklum ia sempat menelan air
ketuban, namun paras cantiknya sama dengan Shanum.
“Irus
keluar kau!”Kedatangan Erau disambut deru angin yang sedikit kencang, seperti
Nenek Bayan di serial Ipin dan Upin yang mengenakan sarung, baju kebaya, dan
sandal jepit tetapi tanpa tongkat sihir. Rupanya Sobirin telah memasang
penangkal, portal gaib di seluruh bagian rumah, Erau tidak bisa masuk. Erau kian
murka. Rona ketakutan menyergapi Irus. Naluri ke ibuannya membuatnya berlari ke
kamar, untung saja tungku api telah dipadamkan. Teriakkan Erau semakin kencang
mengalahkan gemuruh supporter sepakbola babak final antara Indonesia melawan
Malaysia.
“Anak
ikam bawa sini, kalo nda mau mati sekeluargaan. Hayuu lakasi!”sekuat tenaga
Erau berteriak agar Irus mau menyerahkan salah satu putrinya yang akan
dijadikan tumbal seserahan pada hantu kuyang.
Irus
menangis sejadi-jadinya tanpa bersuara di dalam kamar. Seolah mengerti apa yang
diderita ibunya kedua putrinya diam dalam tidur.
Allahuakbar
Allahuakbar Allahuakbar… kumandang adzan dzuhur
bagai oase di tengah padang pasir. Senandung yang lembut mampu
mendiamkan suara parau Erau. Sepanjang tiga menit sungguh berarti menentramkan
qolbu Irus. Seperti biasa jika adzan dzuhur memanggil, Sobirin pulang dari
rutinitasnya mengajar. Pertemuan anak menantu dengan mertua yang tidak
diingainkan tidak mungkin dihindari. Di luar rumah perkelahian tak terelakkan.
“Ingat
Sobirin suatu saat aku pasti memiliki salah satu anakmu, tidak sekarang tapi
nanti akan tiba waktunya dia dijemput.”
“Ingat
juga Mak tua, mulai hari ini pian (kamu) lain Mamaku lagi. Pian itu hantu.
Lakasi (cepat) bejauh dari sini kalo kada pian mati!” Sobirin balas mengancam.
“Abis Ashar kita pindah sementara ke rumah
Umaku.” Sobirin menenangkan hati Irus yang terguncang.
***
“Waktu
itu kami lalai, Shauna dibawa paksa pas dia main dengan Shanum di halaman
rumah,” Sobirin tertunduk lemas saat menceritakan peristiwa memilukan ketika
Shauna berusia lima tahun.
“Kenapa
Bapak tidak mencegah waktu Shauna dibawa?” Euis bertanya diplomatis.
“
Saya tidak melihat kejadiannya, Shanum yang lapor.”
“Maaf
Pak, Bu, saya curiga sepertinya Shauna diturunkan ilmu kuyang oleh Nenek Erau.”
Semua menatap takjub ke arah Euis, seolah dia penyebab masalah ini. “Sebaiknya
kita secepatnya ke Pulau Hanaut.” Euis menepis anggapan itu.
Pulau
Hanaut yang tenang dengan air tawarnya yang landai sungguh menjanjikan menjadi
sebuah kunjungan pariwisata yang eksotik
bila dikelola dengan baik oleh para investor atau para pengembang. Pulau
Hanaut menyimpan sejuta pesona. Bila lembayung senja mulai bergelayut manja di
sepanjang bibir air tawar, keeksotikkannya tak tergambarkan indahnya. Seperti
sore ini saat Euis tiba di Pulau yang penuh mistis ini, gelombang awan stumulus
membentuk ombak laut yang bergulung ditemani puluhan kelelawar yang melintas.
“Eh
Bu Dokter!”Hari ini prakteknya buka?”
“Iya,
Pak Ari mau berobat?”
“Bukan
saya tapi istri saya. Kandungannya sepertinya bermasalah. Ibu Dokter bisa
datang ke rumah!”
Euis
tidak langsung menjawab, ia berpaling ke
keluarga Sobirin. Tidak enak rasanya meninggalkan tamu.
“Boleh
kami temani,”Irus menwarkan diri.
Euis
tersenyum sembari mengangguk.
Astiani istri Ari tergolong sudah tidak muda lagi,
namun masih kategori produktif sekira lima tahun ke depan masih bisa untuk
berkembangbiak. Astiani tertidur pulas di dipan sederhananya setelah Euis
memberi obat penenang. Di ruang tamu terdengar kicauan di luar nalar, terutama
Sobirin yang mengaitkan masalah keguguran ini dengan fenomena munculnya kuyang.
“Sudahlah
Pak Sobir, kita berpikir positif aja.”
“Tapi
memang betul itu Bu Dokter yang dibilang Pak Sobirin. malam kemarin pas hujan
rintik parit di samping rumah ini baunya minta ampun seperti ada yang mengaduk
terus di samping rumah ada bunyi seperti orang menyeruput minuman,” Ari
berusaha meyakinkan Euis dengan menceritakan kejanggalan yang belum pernah
terjadi. “Itu tanda kuyang datang Bu Dokter.” Lanjut Ari berapi-api.
“Terus
apa yang harus kita lakukan?”
“Hanya
satu, kita kasih umpan,” Sobirin memberi usul.
“Siapa
yang jadi umpan?” selidik Euis.
Sobirin
menatap penuh harap ke putri semata wayangnya, serentak semua menatap Shanum
yang kaget dengan pernyataan ayahnya.
“Kenapa
harus aku. Aku tidak hamil, mana mau kuyang keluar.” Shanum berontak dengan
alasan yang masuk akal.
“Nanti
Abah yang kasih mantra biar kuyang keluar.” Sobirin meyakinkan Shanum yang
tampak ketakutan.
Sobirin
lelaki Dayak ini sepertinya sudah biasa dan pernah melakukan ritual pemanggilan
mahluk astral. Sekujur tubuh Shanum diciprati air kembang yang sebelumnya
diberi bacaan mantra. Semerbak amis darah babi dan asap dupa menyelimuti
suasana tengah malam di halaman depan rumah Erau.
Penampakan
kuyang yang pernah Euis lihat terulang kembali, kali ini sangat jelas wujudnya.
Perempuan berwajah seram, rambut panjang tergerai awut-aawutan, dan yang khas
semua isi organ dalam ikut menjuntai. Euis tersihir tanpa ada rasa takut
menyaksikan dari kejauhan.
Kuyang
mendekati umpan, mengendus darah babi, lalu perlahan mendekati Shanum yang
raganya tidak ditempat tubuhnya. Roh Shanum terbang semacam detektor mencari
keberadaan tubuh kuyang. Tubuh Shanum yang terbujur kaku mulai dijilati. Air
liur kuyang menetes rakus siap menyantap hidangan lezat. Gigi dan kuku yang
runcing siap mencabik dalam satu kali sentakan.
Sobirin
bersama roh Shanum menemukan tubuh kuyang yang tersembunyi di antara rerimbunan
pohon jagung di kebun Erau. Tanpa berpikir panjang sembari merapal mantera,
Sobirin menancapkan kayu pasak yang panjangnya setengah meter ke dalam tubuh
yang mengenakan long dress putih.
“Aaaghh..!”
raungan kesakitan hantu kuyang terdengar seperti rintihan memilukan. Sang Kuyang terus melolong layaknya seekor
serigala yang tertembak panah hingga mata dan kepalanya ikut berputar, lalu
terhempas ke tanah.
Tubuh
Shanum tiba-tiba bergerak, Sobirin datang membawa jasad kuyang. Dengan cekatan,
Sobirin menancapkan kepala yang lunglai ke tubuh kuyang yang bersimbah darah.
“Pergilah!”
Sesaat
kemudian wajah menyeramkan itu berubah menjadi manusia biasa, wajah yang tidak
asing di mata Euis dan keluarga Sobirin. Raut kedamaian milik Shauna, pergi
untuk selamanya membawa misteri ajian ilmu kuyangnya.
***
Tidak
banyak yang menghadiri pemakaman, hanya pemuka Pulau saja seperti Pak ErTe,
Haji Nahrowi, dan tiga orang tim pardukifayah. Sepulang pemakaman Euis
menyempatkan dirinya singgah di kebun jagung yang sebulan ini tidak terawat.
Beberapa batang jagung ada yang kering
dan mati namun tidak rebah, rumput disekitarnya mulai meninggi. Euis menyibak
rumput beriwit yang hijau segar, kosong, yang ada hanya tanah lembab. Rasa
penasaran masih menyelimuti, Euis kembali menyibak rimbunan daun singkong yang
tumbuh rendah di tanah.
“Astagfirullah!”
Euis terkesiap menutup mulutnya. Terpampang dengan jelas tulisan di kayu nisan
SHAUNA 1990 di antara empat kuburan kecil yang berjajar rapi dengan batu bulat
sebagai penanda, tanpa nama.
****
Bandung,
2019
“Nek..ini
siapa yang dekat umi,”gadis mungil berkulit putih kemerahan, dengan lesung
pipi di sebelah kanan membuat anak
berusia tujuh tahun ini semakin tampak memesona lengkap dengan hidung mancung
dan bulu mata yang lentik.
“Siapa
ya, Nenek tidak kenal,” jawab Nenek sembari mengangkat album foto, mengamati
lebih dekat, mencermati dengan seksama gambar yang ditunjuk oleh sang cucu.
“Euis kadiye!”
“Naon
Umi?”
“Saha
eta?” Ibu Euis menunjuk foto lama yang diabadikan melalui ponsel, lima tahun
lalu.
Euis
menunduk ikut memastikan lebih dekat,”Ya Allah..Shauna!”
Shauna
tersenyum dengan bergaun putih yang sama sewaktu pertama kali bertemu Euis di
Dermaga Semayang, Shauna berdiri tersembunyi agak ke belakang di antara Euis,
Pak ErTe, Bu ErTe, saat acara pelepasan purnabakti di Pulau Hanaut.
***
Lumayan sebagai pemula
BalasHapus